Konsep Dasar Ekonomi Dalam Al-Quran
Dalam pandangan Islam,Allah adalah Dzat yang
telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan umat manusia. Allah Swt telah
membuat sumber daya di alam ini bagi manusia, dengan bertanggung jawab
menggunakannya, membentuknya, dan merubahnya menurut kebutuhannya. Allah Swt
telah memberikan organ penting untuk menggunakan panca inderanya, agar mengerti
dirinya sendiri dan alam, dan mengembangkan kekayaan untuk memelihara dirinya
dan memuaskan kebutuhannya. Manusia dibenarkan mengamati alam semesta merupakan
bagian ibadah kepada Allah Swt. Firman Allah:
مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا
بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَo
Artinya: “Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.
Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada
mereka”. (QS. Al-Ahqaaf:3)
Islam menginginkan manusia agar mempertahankan
keseimbangan antara cintanya dan penahanan nafsu dari segala sesuatu. Anjuran
pengendalian diri dalam mendapatkan sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui secara serampangan. Setiap generasi seharusnya mempertimbangkan
generasi berikutnya dalam menggunakan sumber daya alam tersebut. Semua bangsa
di permukaan bumi seharusnya melakukan pengendalian dalam menggunakan sumber
daya alam.
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih
dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya
ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat
pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan
timbulnya kelangkaan.
Sistem ekonomi terbentuk dari pengalaman masa
lalu suatu negara dalam mengelola negaranya. Untuk itu kajian tentang sejarah
sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia.
Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar
dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan
kecenderungan-kecenderungan jangka jauh dalam berbagai perubahan ekonominya.
Sejarah merupakan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran
ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan
usaha dan ilmu ekonomi itu sendiri.
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari
prinsip-prinsip Qur’ani. Alquran yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah
menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam
melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang keonomi.
Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah
semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai khalifatullah
fi al-ardh, manusia telah diciptakan dalam bentuk yang paling baikdan
seluruh ciptaan lainnya, seperti matahari, bulan, dan langit telah ditakdirkan
untuk dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta
kasih saying Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.
Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ
مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا
تَشْكُرُونَ.
Artinya: “Sesungguhnya
Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagi kamu di
muka bumi itu sumber penghidupan, hanya sedikit sekali diantara kamu yang
bersyukur”. (QS. Al-A’raf:10)
Ekonomi dalam Islam dipandang sebagai sebuah
gerakan baru yang disertai dengan misi dekonstruktif atas kegagalan sistem
ekonomi dunia yang dominan selama ini dalam menyelesaikan berbagai persoalan
ekonomi dunia yang semakin rumit. Pada hakikatnya ekonomi Islam adalah
metamorfosa nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan dimaksudkan untuk menepis
anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur persoalan ubudiyah atau
komunikasi vertikal antara manusia (makhluk) dengan Allah (Khliq)nya. Ekonomi Islam
pada prinsipnya memiliki sejumlah azas tertentu. Namun sejumlah penulis ekonomi
Islam mengemukakan 3 azas, yaitu : mekanisme pemerolehan dan kepemilikan harta,
mekanisme pengelolaan kepemilikan harta, dan distribusi harta kekayaan di
tengah masyarakat.
1.
Azas
Kepemilikan
Kepemilikan adalah izin untuk memanfaatkan
benda atau sumber daya yang ada untuk kepentingan manusia. Sebagaimana prinsip
dasar ekonomi Islam yang menempatkan alam dan manusia sebagai dua unsur yang
saling melengkapi, yang diberi titah oleh Allah, maka manusia diberi hak untuk
memiliki sumber daya yang ada untuk dikelola sesuai dengan keinginan
pemiliknya. Sumber daya ekonomi yang menjadi cikal bakal harta kekayaan yang
diamanahkan kepada manusia adalah milik Allah secara mutlak. Manusia hanya
mendapat manda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya untuk kepentingan
kemaslahatan manusia.
Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi,
kekayaan yang dihasilkan hari ini akan digunakan untuk hari esok. Oleh karena itu konsumsi berperan sebagai bagian yang sangat
penting bagi kehidupan ekonom seseorang maupun negara. Jadi yang terpenting
dalam hal ini adalah cara penggunaan yang harus diarahkan pada pilihan-pilihan
yang baik dan tepat agar kekayaan tersebut dimanfaatkan pada jalan sebaik
mungkin.
Untuk memperoleh kekayaan atau melakukan kegiatan konsumsi seseorang harus
melakukan usaha, yaitu dengan bekerja.
Ekonom modern mengatakan, bekerja merupakan perilaku dzahir yang
secara sungguh-sungguh dilakukan manusia, untuk mempertahankan hidupnya. Dalam
pandangan Islam, bekerja tidak hanya sekedar sebagai pendorong manusia untuk
mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan, namun merupakan asas segala
sesuatu. Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ.
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” (QS.
Al-Balad: 4)
Manusia diciptakan Allah dalam kesusah payahan
dan kepayahan, hasil usaha manusia secara sungguh-sungguh merupakan nilai bagi
dirinya. Ekonom menyatakan, bekerja merupakan asas/ sumber kekayaan diatas
bumi. Manusia diwajibkan untuk bersusah payah guna mendapatkan kekayaan
tersebut, memakmurkan bumi dan memberdayakan kemanfaatannya. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي
مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ.
Artinya : “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkinya. Dan hanya
kepadaNya lah kamu kembali dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk: 15)
Bumi ditundukkan oleh Allah demi kemaslahatan manusia. Maka, berjalanlah
kalian diatas bumi. Telusurilah segala dimensi kehidupan bumi demi mendapatkan
manfaat dan kebaikan yang berlipat-lipat. Seperti yang telah disebarkan oleh
Allah di atas bumi, di perut bumi, di atas gunung, udara, atau air yang
terdapat di bumi.
2. Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tata
cara yang mana dengannya manusia mengacu atau bercermin dalam memanfaatkan
harta yang diamanatkan Allah kepadanya. Pengelolaan pemilikan ini terkait
dengan the generalized others, yang mana manusia selaku manajer dalam
mengelola dan menguasai harta mengacu pada nilai-nilai intrinsik dan nilai
ekstrinsik dari harta tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki
harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya dengan
kerangka dan tata cara yang telah digariskan Allah. Apa bila diklasifikasi cara
pengelolaan harta kepemilikan maka ada terdapat dua kegiatan, yaitu
pembelanjaan harta, dan pengembangan harta.
Pembelanjaan harta adalah pemberian harta oleh
individu untuk berderma atau penafkahan tanpa adanya kompensansi. Dalam konteks
ini menjelaskan bahwa Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut
pertama-tama haruslah dimanfaatkan untuk nafkah baik yang bersifat wajib maupun
sunnah.
Pengembangan harta adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dalam upaya mengembangkan harta yang dimilikinya
sesuai dengan tuntunan garis-garis etika dan nilai-nilai Islam. Pengembanagan
harta terutama ditempuh melalui usaha-usaha yang sifatnya produktif.
Allah berfirman:
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
وَمَا تَحْتَ الثَّرَى.
Artinya: “Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit,
semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang di bawah
tanah” (QS. Thaha:6)
Sesungguhnya hanyalah Allah yang menciptakan segalanya,
semua prakarsa dan usaha yang hakiki hanya milik Allah, kepemilikan manusia
atas harta benda hanya kepemilikan yang datang kemudian dan tidak bisa
menghapus kepemilikan Allah yang abadi. Kepemilikan manusia hanyalah
kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan
sebagai pemilik hakiki. Manusia hanya bisa memiliki kemanfaatan atas fasilitas
yang ada, seperti mempunyai tanah untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal,
sebagai lahan pertanian, ataupun sebagai ladang bisnis.
a. Produksi
Memproduksi barang dan jasa apapun membutuhkan usaha
manajemen terpadu antara tenaga kerja, kapital, dan teknologi. Namun, karena
proses produksi tersebut terjadi dalam sebuah masyarakat manusia dengan bantuan
usaha-usaha manusia dan sumber-sumber daya langka, maka sistem produksi harus
mencerminkan sejumlah karakteristik, jika proses produksi itu ingin dianggap
sebagai “efisien” dan “adil”. Pertama, dalam memproduksi barang-barang dan jasa
yang memenuhi hajat manusia, sistem ini harus mampu memotivasi baik kepada
manajemen maupun sumber daya manusianya agar mereka mengerahkan kemampuan
mental dan fisik terbaiknya, sehingga dapat memaksimalkan produktivitas dan
meminimalkan ongkos dan kemubadziran. Ongkos yang diminimalkan jangan hanya
ongkos individual tetapi juga ongkos sosial.
3. Azas Distribusi Kekayaan
Distribusi kekayaan merupakan
salah satu aspek penting yang menjadi azas dalam ekonomi Islam. Karena itu,
dalam konteks distribusi ini Islam memberikan berbagai ketentuan yang berkenaan
dengannya untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat.
Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan
serta akad-akad muamalahyang wajar.
Namun demikian, karena manusia
memiliki perbedaan kapabilitas dan kreativitas serta potensi yang menyebabkan
adanya perbedaan tingkat partisipasi dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini
pada akhirnya berpengaruh terhadap masalah kemampuan individu dalam memenuhi
suatu kebutuhan juga menyebabkan adanya perbedaan distribusi kekayaan antara
satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut juga berpotensi terhadap individu yang
sangat besar kemungkinan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi
kekayaan yang membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan pada segelintir
orang sehingga menyebabkan harta beredar di kalangan tertentu saja, sementara
yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar
fixed, seperti emas dan perak.
Allah Swt telah menetapkan melalui
sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apapun yang dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam
jangka waktu yang singkat. Kesuksesan seseorang dalam berusaha baru akan
terwujud jika dilalui dengan kerja keras, ketekunan dan kesabarandisertai dengan
doa yang tidak pernah terputus. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang
dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian,
penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan
riba bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tetapi juga para
pelakunya layak dihukum. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt mengutuk mereka
secara tegas melalui firmanNya:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ o الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ o يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
Artinya: “Celakalah semua pedagang
jahat dan suka menjatuhkan orang lain yang menumpuk hartanya dan memperbanyak
dengan harapan hartanya tersebut dapat menjadikannya hebat dan selalu bertahan
selamanya”. (QS. Al-Humazah;1-3)
Dengan demikian, menumpuk harta
serta tidak menggunakannya untuk berbagai tujuan yang bermanfaat bagi umat
manusia merupakan perbuatan yang tidak diperkenankan dalam Islam, karena
menjadikan seseorang kaya raya sementara kepentingan dan kesejahteraan orang
lain dan masyarakat terampas.