Selasa, 26 November 2013



ABADI
Katika aku terjatuh
Berharap ada sayap yang menangkapku
Menangkap semua rasa yang kurasa
Membuangnya jauh diluar angan
Angan yang berangan
Mengharap adanya keabadian
Yaa,, Keabadian
Adakah keabadian itu sesungguhnya
Atau hanya sebatas kata yang diangankan
Kata yang selalu berada di angan para pengangan

Selasa, 12 November 2013



KESALAHAN

Selalu salah, atau memangsalah di mata mu
Mungkin aku merasa tak salah, karena memang manusia selalu tak menyadari kesalahannya
Hanya maaf yang bisa kuucap, karena memang itulah kata yang pantas kuucapkan padamu
Meski sebenarnya aku tak harus mengucapkan kata maaf itu
Bagimu mungkin terlalu banyak kata maaf
Tapi yang kutahu hanya itu yang dapat kulakukan saat itu
Dan sampai saat ini pula aku tak tahu salahkah aku sebenarnya
Mungkinmemangsalah, tapiakutakberniatmelakukannya
Aku hanya menginginkan sesuatu yang lain,
Dan mungkin masalah yang sebenarnya adalah aku melakukannya dengan cara yang kurang benar
Dengan kata lain memang berarti SALAH

Minggu, 10 November 2013

Konsep Dasar Ekonomi Dalam Islam



Konsep Dasar Ekonomi Dalam Al-Quran

Dalam pandangan Islam,Allah adalah Dzat yang telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan umat manusia. Allah Swt telah membuat sumber daya di alam ini bagi manusia, dengan bertanggung jawab menggunakannya, membentuknya, dan merubahnya menurut kebutuhannya. Allah Swt telah memberikan organ penting untuk menggunakan panca inderanya, agar mengerti dirinya sendiri dan alam, dan mengembangkan kekayaan untuk memelihara dirinya dan memuaskan kebutuhannya. Manusia dibenarkan mengamati alam semesta merupakan bagian ibadah kepada Allah Swt. Firman Allah:
مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَo
Artinya: “Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka”. (QS. Al-Ahqaaf:3)
Islam menginginkan manusia agar mempertahankan keseimbangan antara cintanya dan penahanan nafsu dari segala sesuatu. Anjuran pengendalian diri dalam mendapatkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui secara serampangan. Setiap generasi seharusnya mempertimbangkan generasi berikutnya dalam menggunakan sumber daya alam tersebut. Semua bangsa di permukaan bumi seharusnya melakukan pengendalian dalam menggunakan sumber daya alam.[1]
Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan.
Sistem ekonomi terbentuk dari pengalaman masa lalu suatu negara dalam mengelola negaranya. Untuk itu kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka jauh dalam berbagai perubahan ekonominya. Sejarah merupakan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi itu sendiri.[2]
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Alquran yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang keonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasaan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai khalifatullah fi al-ardh, manusia telah diciptakan dalam bentuk yang paling baikdan seluruh ciptaan lainnya, seperti matahari, bulan, dan langit telah ditakdirkan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Hal ini merupakan suatu anugerah, rahmat serta kasih saying Allah Swt yang sangat besar terhadap umat manusia.[3] Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ.
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagi kamu di muka bumi itu sumber penghidupan, hanya sedikit sekali diantara kamu yang bersyukur. (QS. Al-A’raf:10)
Ekonomi dalam Islam dipandang sebagai sebuah gerakan baru yang disertai dengan misi dekonstruktif atas kegagalan sistem ekonomi dunia yang dominan selama ini dalam menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi dunia yang semakin rumit. Pada hakikatnya ekonomi Islam adalah metamorfosa nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan dimaksudkan untuk menepis anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur persoalan ubudiyah atau komunikasi vertikal antara manusia (makhluk) dengan Allah (Khliq)nya. Ekonomi Islam pada prinsipnya memiliki sejumlah azas tertentu. Namun sejumlah penulis ekonomi Islam mengemukakan 3 azas, yaitu : mekanisme pemerolehan dan kepemilikan harta, mekanisme pengelolaan kepemilikan harta, dan distribusi harta kekayaan di tengah masyarakat.[4]
1.      Azas Kepemilikan
Kepemilikan adalah izin untuk memanfaatkan benda atau sumber daya yang ada untuk kepentingan manusia. Sebagaimana prinsip dasar ekonomi Islam yang menempatkan alam dan manusia sebagai dua unsur yang saling melengkapi, yang diberi titah oleh Allah, maka manusia diberi hak untuk memiliki sumber daya yang ada untuk dikelola sesuai dengan keinginan pemiliknya. Sumber daya ekonomi yang menjadi cikal bakal harta kekayaan yang diamanahkan kepada manusia adalah milik Allah secara mutlak. Manusia hanya mendapat manda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya untuk kepentingan kemaslahatan manusia.[5]
Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi, kekayaan yang dihasilkan hari ini akan digunakan untuk hari esok. Oleh karena itu konsumsi berperan sebagai bagian yang sangat penting bagi kehidupan ekonom seseorang maupun negara. Jadi yang terpenting dalam hal ini adalah cara penggunaan yang harus diarahkan pada pilihan-pilihan yang baik dan tepat agar kekayaan tersebut dimanfaatkan pada jalan sebaik mungkin.[6] Untuk memperoleh kekayaan atau melakukan kegiatan konsumsi seseorang harus melakukan usaha, yaitu dengan bekerja.
Ekonom modern mengatakan, bekerja merupakan perilaku dzahir yang secara sungguh-sungguh dilakukan manusia, untuk mempertahankan hidupnya. Dalam pandangan Islam, bekerja tidak hanya sekedar sebagai pendorong manusia untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan, namun merupakan asas segala sesuatu. Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ.
Artinya :  “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” (QS. Al-Balad: 4)
Manusia diciptakan Allah dalam kesusah payahan dan kepayahan, hasil usaha manusia secara sungguh-sungguh merupakan nilai bagi dirinya. Ekonom menyatakan, bekerja merupakan asas/ sumber kekayaan diatas bumi. Manusia diwajibkan untuk bersusah payah guna mendapatkan kekayaan tersebut, memakmurkan bumi dan memberdayakan kemanfaatannya. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ.
Artinya : “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkinya. Dan hanya kepadaNya lah kamu kembali dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk: 15)
Bumi ditundukkan oleh Allah demi kemaslahatan manusia. Maka, berjalanlah kalian diatas bumi. Telusurilah segala dimensi kehidupan bumi demi mendapatkan manfaat dan kebaikan yang berlipat-lipat. Seperti yang telah disebarkan oleh Allah di atas bumi, di perut bumi, di atas gunung, udara, atau air yang terdapat di bumi.[7]
2.      Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tata cara yang mana dengannya manusia mengacu atau bercermin dalam memanfaatkan harta yang diamanatkan Allah kepadanya. Pengelolaan pemilikan ini terkait dengan the generalized others, yang mana manusia selaku manajer dalam mengelola dan menguasai harta mengacu pada nilai-nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik dari harta tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya dengan kerangka dan tata cara yang telah digariskan Allah. Apa bila diklasifikasi cara pengelolaan harta kepemilikan maka ada terdapat dua kegiatan, yaitu pembelanjaan harta, dan pengembangan harta.
Pembelanjaan harta adalah pemberian harta oleh individu untuk berderma atau penafkahan tanpa adanya kompensansi. Dalam konteks ini menjelaskan bahwa Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah dimanfaatkan untuk nafkah baik yang bersifat wajib maupun sunnah.
Pengembangan harta adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam upaya mengembangkan harta yang dimilikinya sesuai dengan tuntunan garis-garis etika dan nilai-nilai Islam. Pengembanagan harta terutama ditempuh melalui usaha-usaha yang sifatnya produktif.[8]
Allah berfirman:
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى.
Artinya: “Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang ada di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah” (QS. Thaha:6)
Sesungguhnya hanyalah Allah yang menciptakan segalanya, semua prakarsa dan usaha yang hakiki hanya milik Allah, kepemilikan manusia atas harta benda hanya kepemilikan yang datang kemudian dan tidak bisa menghapus kepemilikan Allah yang abadi. Kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang ada, bukan sebagai pemilik hakiki. Manusia hanya bisa memiliki kemanfaatan atas fasilitas yang ada, seperti mempunyai tanah untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, sebagai lahan pertanian, ataupun sebagai ladang bisnis.[9]
a.       Produksi
Memproduksi barang dan jasa apapun membutuhkan usaha manajemen terpadu antara tenaga kerja, kapital, dan teknologi. Namun, karena proses produksi tersebut terjadi dalam sebuah masyarakat manusia dengan bantuan usaha-usaha manusia dan sumber-sumber daya langka, maka sistem produksi harus mencerminkan sejumlah karakteristik, jika proses produksi itu ingin dianggap sebagai “efisien” dan “adil”. Pertama, dalam memproduksi barang-barang dan jasa yang memenuhi hajat manusia, sistem ini harus mampu memotivasi baik kepada manajemen maupun sumber daya manusianya agar mereka mengerahkan kemampuan mental dan fisik terbaiknya, sehingga dapat memaksimalkan produktivitas dan meminimalkan ongkos dan kemubadziran. Ongkos yang diminimalkan jangan hanya ongkos individual tetapi juga ongkos sosial.[10]

3.      Azas Distribusi Kekayaan
Distribusi kekayaan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi azas dalam ekonomi Islam. Karena itu, dalam konteks distribusi ini Islam memberikan berbagai ketentuan yang berkenaan dengannya untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta akad-akad muamalahyang wajar.
Namun demikian, karena manusia memiliki perbedaan kapabilitas dan kreativitas serta potensi yang menyebabkan adanya perbedaan tingkat partisipasi dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap masalah kemampuan individu dalam memenuhi suatu kebutuhan juga menyebabkan adanya perbedaan distribusi kekayaan antara satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut juga berpotensi terhadap individu yang sangat besar kemungkinan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan yang membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan pada segelintir orang sehingga menyebabkan harta beredar di kalangan tertentu saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar fixed, seperti emas dan perak.[11]
Allah Swt telah menetapkan melalui sunnah-Nya bahwa jenis pekerjaan atau usaha apapun yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani tidak akan pernah menjadikan seseorang kaya raya dalam jangka waktu yang singkat. Kesuksesan seseorang dalam berusaha baru akan terwujud jika dilalui dengan kerja keras, ketekunan dan kesabarandisertai dengan doa yang tidak pernah terputus. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi yang dapat mendatangkan uang dalam jangka waktu yang singkat, seperti perjudian, penimbunan kekayaan, penyelundupan, pasar gelap, spekulasi, korupsi, bunga, dan riba bukan saja tidak sesuai dengan hukum alam dan dilarang, tetapi juga para pelakunya layak dihukum. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt mengutuk mereka secara tegas melalui firmanNya:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ o الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ o يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
Artinya: “Celakalah semua pedagang jahat dan suka menjatuhkan orang lain yang menumpuk hartanya dan memperbanyak dengan harapan hartanya tersebut dapat menjadikannya hebat dan selalu bertahan selamanya”. (QS. Al-Humazah;1-3)
Dengan demikian, menumpuk harta serta tidak menggunakannya untuk berbagai tujuan yang bermanfaat bagi umat manusia merupakan perbuatan yang tidak diperkenankan dalam Islam, karena menjadikan seseorang kaya raya sementara kepentingan dan kesejahteraan orang lain dan masyarakat terampas.[12]


[1] Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan Islami (Yogyakarta: Ekonisia. 2004) hlm. 27
[2] Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010) hlm. 15
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004) hlm. 28
[4] Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam ( Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007) hlm. 1
[5] Ibid, hlm. 9
[6] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid 2 (Yogyakarta: Dana bhakti wakaf. 1995) hlm. 17
[7] Abdul Sami’ Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar. 2006) hlm. 6
[8] Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam ( Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007) hlm. 10
[9] Abdul Sami’ Al-Mishri, Pilar-Pilar Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar. 2006) hlm. 26
[10] DR.M. Umer Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani. 2000) hlm. 41
[11] Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam ( Yogyakarta: Graha Ilmu. 2007) hlm. 12
[12] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta;Raja Grafindo Persada.  2004) hlm. 30